“Gunung Batuwara merupakan sebutan untuk Gunung Krakatau Purba yang bertanggung jawab atas hilangnya setengah nyawa manusia di dunia yang hidup pada tahun 513 M. Tidak hanya itu, gunungapi ini pun telah ikut andil dalam peradaban bumi hingga saat ini. Abad kegelapan pernah dilewati oleh peradaban manusia yang baru saja berkembang, dimana pada saat itu matahari tidak terlihat karena tertutup oleh debu hasil letusan dan selama 10 hingga 20 tahun terjadi penurunan suhu 5 o C sampai 10 o C di bumi.”

RAKSASA BATUWARA

Gunung Krakatau Purba yang disusun dari batuan andesit merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883, dimana menurut para ahli terbentuk dari letusan hebat suatu gunungapi yang sangat besar di Selat Sunda pada masa purba sehingga menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang merupakan cikal bakal dari Gunung Krakatau Purba tersebut. Letusan yang membentuk Gunung Krakatau Purba tercatat dalam suatu teks Jawa Kuno yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi dengan judul “Pustaka Raja Parwa” yang menyatakan, “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera.” Cerita itu dipercaya sebagai kejadian alam yang berasal dari Gunung Krakatau Purba yang disebut dalam teks dari Pustaka Raja Parwa dengan Gunung Batuwara oleh Berend George Escher, salah satu ahli geologi dan beberapa ahli lainnya.

Gambar 1. Kompleks Krakatau setelah erupsi 1883 (gambar kanan) yang terletak di Selat Sunda (gambar kiri) (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau)
Gambar 1. Kompleks Krakatau setelah erupsi 1883 (gambar kanan) yang terletak di Selat Sunda (gambar kiri) (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau)

Gunung Krakatau Purba memiliki tinggi mencapai 2.000 meter diatas permukaan laut dan lingkaran pantai yang mencapai 11 kilometer menurut buku “Pustaka Raja Parwa”. Letusan Krakatau Purba yang diperkirakan berlangsung selama 10 hari diperkirakan memiliki kecepatan muntahan material erupsi mencapai 1 juta ton per detik dan membentuk perisai atmosfer dengan ketebalan 20-150 meter yang menurunkan temperatur bumi sebesar 5 derajat hingga 10 derajat selama 10 hingga 20 tahun. Letusan Gunung Krakatau Purba diyakini bertanggung jawab atas banyak peristiwa di dunia pada masa itu, seperti runtuhnya Persia Purba, berubahnya Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Byzantium, hancurnya peradaban Nazca di Amerika Selatan, serta punahnya kota besar Maya, Tikal. Selain itu, penyakit sampar bubonic muncul akibat temperatur yang terus mendingin telah berhasil mengurangi jumlah penduduk di bumi secara signifikan. Hancurnya tiga perempat tubuh Krakatau Purba akibat letusan besar menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda, dimana tepi kawahnya membentuk Pulau Rakata, Pulau Panjang atau Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Sertung.

KEHADIRAN KRAKATAU
Gunung Krakatau hadir setelah dorongan vulkanik dari dalam perut bumi terus keluar di Pulau Rakata, sehingga Gunung Krakatau juga dikenal dengan Gunung Rakata yang tersusun dari batuan basaltik. Kemudian dari tengah kawah muncul dua gunungapi, yaitu Gunung Danan dan Gunung Perboewetan (Gunung Perbuwatan) yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakat yang ada lebih dulu. Dengan demikian, Pulau Krakatau terdiri dari tiga deret gunung api dari selatan ke utara, yaitu Rakata, Danan, dan Perbuwatan dengan ketinggian gunung- gunung yang tidak sama, dimana Gunung Rakata memiliki tinggi kawah 822 meter, Gunung Danan sekitar 443 meter, dan Gunung Perbuwatan 118 meter. Pulau Krakatau memiliki panjang 9 km dan lebar 5 km, dengan luas sekitar 33 km2 (De Neve, 1981).

krakatau 2
Gambar 2. Ilustrasi pembentukan Krakatau dari tahun ke tahun. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau)

 

Ketiga gunungapi yang menyatu tersebut dikenal dengan kompleks Gunung Krakatau, dimana pada saat itu, kompleks Gunung Krakatau yang terletak di tengah- tengah Selat Sunda merupakan jalur lalu lintas laut strategis di Indonesia. Pada tahun 1680, Gunung Krakatau meletus dan mengeluarkan lava andesitik asam. Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava pada tahun 1880, tapi tidak meletus. Hingga 20 Mei 1883, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau. Dimana pada 20 Mei 1883 setelah 200 tahun tertidur, terjadi letusan kecil pada Gunung Krakatau yang merupakan tanda- tanda awal terjadinya letusan besar di Selat Sunda. Letusan kecil tersebut terus disusul oleh letusan kecil lainnya, hingga pada puncaknya suatu letusan besar terjadi pada 26 hingga 27 Agustus 1883.

ERUPSI 1883
Kompleks Gunung Krakatau dikatakan mulai aktif pada bulan Mei 1883 yang ditunjukkan oleh adanya gempa berulang hingga pada akhir Agustus 1883, yaitu pada tanggal 26 Agustus 1883 terjadi letusan pukul 14.00 Greenwich time (GMT) dan letusan- letusan susulan yang terjadi setiap 10 menit. Dimana pada 26 Agustus 1883 pukul 17.07 GMT terjadi letusan yang sangat besar. Letusan terus terjadi hingga pada tanggal 27 Agustus 1883 sejak tengah malam hingga dini hari, dimana terjadi letusan besar pada pukul 05.30 GMT dengan waktu tiba gelombang udara terekam di Batavia Gas Works pada pukul 05.43 GMT. Letusan besar ini mengakibatkan adanya tsunami yang mencapai Teluk Betung (Bandar Lampung) pada pukul 06.30 GMT . Letusan besar kembali terjadi pukul 06.44 WIB yang terekam di Batavia Gauge Record Air Wave pukul 06.57 WIB. Letusan paling besar terjadi pukul 10.02 GMT yang terekam pada Gasometer di Jakarta pukul 10.15 WIB. Keempat letusan tersebut telah menghasilkan gelombang tsunami yang sangat dashyat. Letusan besar lainnya terjadi pukul 10.52 WIB dan 16.24 WIB (De Neve, 1981).

Gambar 3. Ilustrasi kondisi kompleks Krakatau sebelum (gambar kiri) dan sesudah erupsi (gambar kanan)
Gambar 3. Ilustrasi kondisi kompleks Krakatau sebelum (gambar kiri) dan sesudah erupsi (gambar kanan)

Suara letusan besar yang dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi, dimana terdengar hingga 4.600 km dari pusat letusan terjadi pada Senin, 27 Agustus 1883 tepat pukul 10:20 WIB. Letusan tersebut adalah letusan paling besar dengan suara paling keras, dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantahkan dalam sejarah manusia modern yang dikatakan oleh seorang penulis National Geographic yang merupakan ahlli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris. Tercatat bahwa letusan Krakatau tahun 1883 bersama dengan letusan Tambora tahun 1815 mencapai nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern menurut pada peneliti dari University of North Dakota. Bahkan, letusan Krakatau tercatat oleh The Guiness Book of Records sebagai letusan paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Selama letusan terjadi, Krakatau melemparkan material bervolume 18 kilometer kubik yang berupa batu apung dan batu vulkanik dengan semburan debu vulkanis memiliki ketinggian 80 kilometer. Material- material tersebut terhamburkan di dataran pulau Jawa, pulau Sumatra hingga Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru (New Zealand). Letusan besar tersebut berhasil menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan, dan sebagian Gunung Rakata yang setengah kerucutnya hilang, sehingga membuat suatu cekungan dengan lebar 7 kilometer dan dalam 250 meter.

TRAGEDI TSUNAMI
Kematian 36.417 orang dari 295 kampung di kawasan pantai Merak, Cilegon hingga Cimalaya, Karawang kemudian pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon serta Sumatra bagian selatan) tercatat akibat tsunami yang muncul akibat longsoran bawah laut dari letusan Krakatau. Tidak hanya bagian Indonesia, gelombang tsunami yang dihasilkan juga merambat ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab dengan jarak 7.000 kilometer. Pada Ujung Kulon air tsunami masuk ke dataramn sampai 15 kilometer ke arah barat dan esok harinya hingga beberapa hari kemudian, daerah Lampung pedalaman serta Jakarta tidak lagi melihat matahari karena abu vulkanik Krakatau yang menutupi langit.
Letusan besar dan runtuhnya gunung api Krakatau menghasilkan gelombang tsunami yang besar dengan ketinggian gelombang yang mencapai 120 kaki (37 meter). Gelombang tersebut menghancurkan 295 kota dan desa di dekat Selat Sunda, tepatnya diantara barat Pulau Jawa dan selatan Pulau Sumatera. Total orang- orang yang terseret gelombang tsunami diperkirakan hingga 36.417 jiwa. Tsunami yang berada di sumber utama, yaitu Krakatau hanya menghancurkan wilayah lokal Indonesia, sedangkan seluruh gelombang tsunami kecil tercatat hingga mencapai Pasifik.

Gambar 4. Waktu pergerakan gelombang tsunami dari letusan keempat dan runtuhan Krakatau dalam interval lima menit (dimodifikasi setelah Yokohama, 1981)
Gambar 4. Waktu pergerakan gelombang tsunami dari letusan keempat dan runtuhan Krakatau dalam interval lima menit (dimodifikasi setelah Yokohama, 1981)

Gelombang tsunami dihasilkan oleh tekanan gelombang atmosfer dari tiga erupsi terbesar dari Krakatau pada 26 dan 27 Agustus 1883 yang dilanjutkan oleh empat letusan yang sangat besar. Dari empat letusan besar lanjutan tersebut, letusan pertama terjadi pada 26 Agustus 1883 pukul 17.07 GMT. Kemudian disusul letusan kedua dan ketiga pada pukul 05.30 GMT dan 06.44 GMT pada keesokan harinya, yaitu 27 Agustus 1883. Pada wilayah terdekat dengan sumber, gelombang tsunami yang terjadi tidak cepat terekam atau tercatat. Pada waktu yang sama, pengukur gelombang pasang (gauge) di Batavia (Jakarta) terlalu jauh untuk merekam tingkat getaran (osilasi) kecil gelombang laut.

Letusan besar terakhir terjadi pada pukul 10.02 GMT dimana gelombang tsunami yang dihasilkan menyebabkan kerusakan sangat besar di sekitar Selat Sunda. Letusan besar tersebut menghancurkan dua hingga tiga pulau pada daerah selatan dan terjadi hampir seketika diikuti oleh hancurnya kantung magma yang kurang kuat dimana terbentuk kaldera bawah laut yang sangat besar. Kombinasi efek dari letusan dan hancurnya gunung api menghasilkan gelombang tsunami yang sangat besar sehingga menimbulkan bencana besar dan kerusakan yang sangat parah di Selat Sunda dan sekitarnya.

KONDISI PULAU JAWA DAN PULAU SUMATRA
Gelombang tsunami yang besar menghanculkan seluruh pesisir pantai kota maupun desa yang berada di Selat Sunda, hanya dalam satu hingga dua jam setelah letusan dan hancurnya pulau gunung api Krakatau. Gelombang tersebut sangat kuat hingga 600 ton koral yang ada di laut saat itu terlempar ke daratan. Dimana sebuah kapal perang terbawa sejauh 3 km ke dalam pulau saat berada di daerah tersebut oleh gelombang dan terendapankan 10 meter dibawah ketinggian permukaan air laut. Tsunami besar tersebut didokumentasikan dengan baik secara visual karena tingginya terlihat hingga mencapai pesisir Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, dimana tsunami tersebut terekam dengan baik oleh gauge di Batavia (Jakarta). Beberapa nama dari kota dan desa pada wilayah tersebut sudah berubah sejak Belanda menguasai Indonesia.

Gambar 5. Daerah yang diarsir adalah daerah yang terlanda tsunami Agustus 1883 (dimodifikasi dari Verbeek, 1885 dalam Simkin & Fiske, 1983)
Gambar 5. Daerah yang diarsir adalah daerah yang terlanda tsunami Agustus 1883 (dimodifikasi dari Verbeek, 1885 dalam Simkin & Fiske, 1983)

Gelombang tsunami tersebut mencapai bagian barat pesisir pulau Jawa dalam waktu satu jam setelah letusan Krakatau terjadi. Sebuah desa dengan nama Sirik hampir tersapu habis oleh gelombang tsunami. Gelombang tsunami juga mencapai Anyer dalam waktu satu jam dimana gelombang setinggi 10 meter membanjiri sebagian kecil kota. Di daerah Tyringen, tinggi gelombang tsunami mencapai 15 hingga 20 meter dan di daerah Merak, Semenanjung Banten dengan ketinggiannya mencapai maksimum yaitu 35 meter. Gelombang tsunami juga menyapu Teluk Semangko sesaat setelah menghancurkan Teluk Betung dengan tinggi gelombang yang lebih kecil. Namun gelombang tersebut cukup menghancurkan daerah sepanjang garis pantai dan merusak banyak perkampungan serta mengakibatkan korban jiwa, sebanyak 2.500 penduduk tewas di Kampung Benewani, 327 hilang di Tanjungan dan Tanot, serta 244 jiwa di Beteong. Di Banten, seluruh pantainya terlanda gelombang pasang yang mengakibatkan rusaknya perkampungan dan menewaskan penduduk yang mencapai 1.974 jiwa. Sebanyak 297 kota kecil (kota kecamatan) hancur terlanda tsunami yang menewaskan 36.417 jiwa (De Neve, 1981; Kusumadinata, 1979). Gelombang tsunami mencapai Batavia (Jakarta), ibu kota Indonesia kira- kira 2,5 jam setelah gelombang tsunami melewati akhir bagian barat Pulau Jawa. Gelombang dengan kertinggian 2,4 meter tercatat memiliki periode yang sangat panjang, yaitu 122 menit. Ketika tsunami mencapai Surabaya, bagian timur Pulau Jawa ketinggiannya hanya 0,2 meter. Waktu pergerakan tsunami mencapai Surabaya ialah 11,9 jam setelah letusan.

Gambar 6. Ketinggian maksimum gelombang adalah 30 hingga 40 meter di daerah dekat kompleks Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883, dimana terletak di pesisir Sumatra Selatan dan Jawa Barat (dimodifiskasi dari Symons, 1888)
Gambar 6. Ketinggian maksimum gelombang adalah 30 hingga 40 meter di daerah dekat kompleks Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883, dimana terletak di pesisir Sumatra Selatan dan Jawa Barat (dimodifiskasi dari Symons, 1888)

Pada Pulau Sumatera waktu pergerakan gelombang tsunami sampai ke desa terdekat ialah satu jam setelah letusan Krakatau. Gelombang tsunami sampai di Teluk Betung (Bandar Lampung) pukul 11.03 GMT dengan ketinggian hingga 72 kaki (22 meter) yang merendam seluruh desa dan mengakibatkan kerusakan berat di kota tersebut serta merenggut korban jiwa hingga 5.000 orang, diantaranya 3 orang kebangsaan Eropa. Di daerah Vlakke Hook, ketinggian maksimum tsunami mencapai 15 meter.

GELOMBANG TERJAUH TSUNAMI KRAKATAU
Getaran kecil permukaan laut dari letusan Krakatau terekam oleh gauge yang sangat jauh, yaitu di Hawaii, Pesisir Barat Amerika, Amerika Selatan dan sebagian terekam pula di Selat Inggris, Perancis, dan Inggris. Gelombang tsunami memerlukan waktu 12 jam untuk mencapai Aden, ujung selatan Peninsula Arab sekitar 3.800 mil jauhnya. Gelombang yang terekam di Aden kemungkinan adalah hasil gelombang pertama yang terjadi di Selat Sunda. Waktu pergerakan gelombang yang kecil 300 mil laut per jam alasan gelombang dapat muncul di Aden. Tidak ada perbatasan pulau di Laut India sebelah Krakatau untuk mencegah energi tsunami yang menyebar kearah ini. Walaupun demikian, gelombang tsunami yang dapat terekam hingga jarak yang sangat jauh, yaitu di Pasifik atau Laut Atlantik merupakan tsunami yang dihasilkan di daerah Selat Sunda.

Kecil kemungkinan apabila beberapa dari seluruh energi gelombang dapat terlepas di sekeliling daerah dalam laut hingga barat Selat Sunda. Besar kemungkinan, gelombang kecil yang terlihat di Pasifik maupun di Atlantik, dihasilkan oleh tekanan gelombang atmosfer yang disebabkan oleh letusan Krakatau dan tidak berasal dari tsunami yang dihasilkan dari Selat Sunda. Di Jepang getaran kecil permukaan laut terekam di Honsu- Sagami dan di Shikoku- Satsuma. Di Australia, jalur tsunami terekam dengan ketinggian 0,1 meter. Di New Zealand, perubahan ketinggian permukaan laut yang terekam mencapai 0,3 meter. Gelombang kecil setinggi 0,24 meter terekam di gauge Honolulu, Hawaii tepatnya di pulau Oahu, 17 jam setelah letusan yang terjadi. Gelombang kecil setinggi 0,1 meter juga terekam di daerah Pulau Kodiak Alaska dan terakhir gelombang dengan ketinggian yang sama, yaitu 0,1 meter terekam di San Fransisco, Kalifornia setelah 17 jam Krakatau meletus. Kecepatan penyebaran gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut dan samudera. Efek resonansi dan kembalinya tsunami mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar laut secara bergantian (Verbeek, 1884 dan 1885). Penyebaran tsunami yang tertinggi memiliki kecepatan antara 540 km/jam sampai 810 km/ jam. Tsunami mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah barat dan timur, kemudian dipantulkan kembali sebanyak 6 kali dari catatan watergauge yang terpasang di seluruh dunia. Akibat erupsi Krakatau ini gelombang tsunami juga bergerak ke arah barat menuju Samudera Hindia mencapai Cape of Good Hope, Afrika Selatan, kemudian ke arah utara menuju menuju Samudera Atlantik. Gelombang tsunami ini juga ditemukan di Cape Town, Afrika Selatan, sejauh 13.032 km dari gunung Krakatau dan hampir teramati di seluruh pantai di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Pengukur tinggi gelombang di Pelabuhan Cape Horn, Chili (14.076 km) dan Panama (20.646 km) menunjukkan terjadinya gelombang pasang dengan kecepatan rata-rata 720 km per jam, bahkan dilaporkan bahwa tsunami tersebut mencapai Selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau (Kusumadinata, 1979).

MEKANISME SUMBER GELOMBANG TSUNAMI
Letusan besar terjadi pada 26 Agustus 1883 dari pulau gunung api Krakatau berhubungan dengan “hidromagmatic” atau ‘phreatomagmatic”. Menurut mekanisme yang dihasilkan, termasuk letusan yang cepat, air laut yang dingin masuk ke dalam kantung magma Krakatau ketika dindingnya mulai pecah akibat lemahnya dasar dinding. Uap yang sangat panas membentuk tekanan yang sangat besar sehingga menghasilkan letusan gunuung api yang sangat besar. Menyusul letusan, pengosongan magma yang terjadi setelah Krakatau hancur membentuk kaldera yang di bawah permukaan laut. Karena pembentukan rongga yang sangat cepat, beberapa mil kubik air laut mengisi rongga dan membentuk gelombang di dekat pusat, yang tingginya dapat sebesar beberapa ratus kaki.

Gambar 7. Simulasi penjalaran gelombang tsunami pada letusan Krakatau Agustus 1883 (dimodifikasi dari Yokohama, 1987)
Gambar 7. Simulasi penjalaran gelombang tsunami pada letusan Krakatau Agustus 1883 (dimodifikasi dari Yokohama, 1987)

Kemudian hanya beberapa saat air dengan cepat ke dalam kaldera yang baru terbentuk, sehingga gelombang tsunami yang besar dengan cepat keluar seperti kaliber yang sangat besar. Gelombang tersebut memancar keluar ke segala arah ke permukaan Selat Sunda. Kecepatan gelombang terbatas oleh kedalaman laut yang relatif dangkal di daerah tersebut. Jadi, tsunami dapat terjadi hampir satu jam setelah letusan dan mencapai Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Gelombang tsunami menghancurkan hampir seluruh kawasan hunian di pesisir Selat Sunda. Tanah longsor pada dasar laut dan gelombang kejut atmosfer akan terjadi dari hasil letusan yang menambah energi gelombang tsunami di daerah tersebut.

Pendapat lain menyatakan tsunami terjadi karena runtuhan sektoral dari bagian utara gunung Rakata dalam skala yang besar (Verbeek, 1885; Self & Rampino, 1981; Camus & Vincent, 1983). Sedangkan Francis (1985) menyebutkan empat mekanisme utama penyebab terjadinya tsunami Krakatau, yaitu aliran awan panas (piroklastik), lateral blast, letusan bawah laut, dan longsornya sebagian besar tubuh Rakata bagian utara. Yokohama (1987) menyebutkan penyebab tsunami berhubungan dengan letusan bawah laut yang terus terjadi sselama 20 hingga 30 menit yang menimbulkan gelombang air yang sangat besar dan selanjutnya menjadi gelombang tsunami.

KEBERADAAN ANAK KRAKATAU
Empat puluh empat tahun setelah letusan hebatnya, tepat di kawasan kaldera purba yang dihasilkan oleh letusan Krakatau 1883, muncul gunungapi yang dikenal dengan Anak Krakatau yang hingga saat ini masih aktif dan bertambah tinggi. Kehadirannya diakibatkan oleh rentetan semburan air laut ke udara di Kompleks Gunung Krakatau selama lebih kurang dua tahun hingga pada 15 Januari 1929 dan pada 20 Januari 1929, asap meniang keluar dari tumpukan material gunungapi yang baru tumbuh dari kedalaman laut 180 meter. Pertambahan tinggi gunung Anak Krakatau diakibatkan oleh material yang keluar secara terus menerus dari dalam perut gunung tersebut. Ketinggian Gunung Anak Krakatau setiap bulannya mencapai 0,5 meter atau 20 inci, bila dihitung ketinggiannya setiap tahun dapat mencapai 6 meter atau 20 kaki serta lebih lebar 12 meter atau 40 kaki. Pada catatan lain, tinggi Gunung Anak Krakatau mencapai 4 sentimeter per tahun sehingga bila dihitung dalam waktu 25 tahun akan mencapai 190 meter atau 7.500 inci atau sekitar 500 kaki, dimana lebih tinggi dibandingkan 25 tahun sebelumnya. Ketinggian Krakatau saat ini sudah mencapai 230 meter di atas permukaan laut, dimana Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Gambar 8. Grafik pertambahan volume tubuh Gunung Anak Krakatau dalam km3 dari tahun 1980-2005 (GEOMAGZ vol. I No. 3 September 2011)
Gambar 8. Grafik pertambahan volume tubuh Gunung Anak Krakatau dalam km3 dari tahun 1980-2005 (GEOMAGZ vol. I No. 3 September 2011)

Prediksi letusan Gunung Anak Krakatau oleh beberapa ahli geologi dikatakan dapat terjadi antara tahun 2015 hingga 2083 dengan pertimbangan pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 lalu yang tidak dapat diabaikan. Bagi salah satu ahli gunungapi Jepang, Profesor Ueda Nakayama mengatakan bahwa Anak Krakatau yang relatif aman meski aktif dan sering menimbulkan letusan kecil, tetapi hanya disaat tertentu saja para turi dilarang mendekati kawasan ini akibat bahaya lava pijar yang dikeluarkan Gunung Anak Krakatau. Prediksi erupsi Gunung Anak Krakatau oleh para ahli diyakini akan terjadi minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M karena tidak ada teori yang masuk akal tentang erupsi Gunung Anak Krakatau. Akan tetapi, bila erupsi benar akan terjadi dapat dipastikan bahwa jumlah korban akan lebih banyak dari letusan sebelumnya. Secara umum, Gunung Anak Krakatau saat ini dikenal masyarakat sebagai Gunung Krakatau pula, walau sebenarnya gunungapi tersebut adalah gunungapi yang baru hadir setelah erupsi sebelumnya.

SEKILAS KRAKATAU
Saat ini Krakatau merupakan kepulauan vulkanik aktif yang termasuk dalam kawasan cagar alam, berada di Selat Sunda, antara pulau Jawa dan pulau Sumatra dengan letak koordinat 6o06’07” S 105o25’23’’ E. Kepulauan aktif ini diyakini pernah menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatra. Namun ketika meletus di (sekitar) tahun 513 M, Krakatau berhasil memisahkan kedua pulau dan membentuk kepulauan vulkanik sendiri. Sebelum meletus di tahun 1883, Krakatau memiliki tiga gunungapi aktif yang bernama Gunung Rakata (Gunung Krakatau), Gunung Perboewetan, dan Gunung Danan.
Krakatau yang dikenal saat ini adalah gunungapi aktif karena terus menerus meletus untuk memperbesar dirinya. Letusan terakhir dari Krakatau berlangsung di bulan Agustus 2013, yang merupakan salah satu letusan yang dilakukan oleh Gunung Anak Krakatau selama 80 tahun terakhir. Gunung Anak Krakatau lahir 46 tahun dari reruntuhan Gunung Krakatau yang ambruk setelah letusan terdahsyatnya tahun 1883 di zaman perkembangan teknologi bumi saat itu. Dari kelahirannya tersebut, Gunung Anak Krakatau selalu melakukan erupsi setiap tahunnya, sehingga Gunung Anak Krakatau memiliki laju pertumbuhan sekitar 4 meter per tahun.

Referensi:

  • https://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau
  • GEOMAGZ vol. I No. 3 September 2011
  • Trianawati Sugito, N. 2008. TSUNAMI. [Dalam jaringan]
    Tersedia di http://www.drgeorgepc.com/Tsunami1883Krakatau.html
  • Pararas- Carayannis, George, Dr. 1997. The Great Tsunami of August 26, 1883 from the Explosion of the Krakatau Volcano (Krakatoa”) in Indonesia. [Dalam jaringan]
    Tersedia di http://www.drgeorgepc.com/Tsunami1883Krakatau.html

 

Mathesa Resvi, Geofisika 2012

Leave a comment

Your email address will not be published.