Gunung Merapi, sebagai gunung berapi aktif di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menghadirkan keunikan tersendiri bagi masyarakat luar. Masyarakatnya seakan mampu bersahabat dengan Sang Gunung, yang dianggap memakmurkan mereka, melalui kekayaan alam yang diberikan. Berbagai kearifan lokal berkembang di lingkungan Merapi, yang juga dipengaruhi oleh kehadiran juru kunci Sang Gunung, „Mbah Marijan‟.
Harmonisasi ini mulai sedikit terusik oleh aktivitas erupsi Merapi 2010 lalu. Perubahan inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini, melalui pengumpulan data sekunder dan telaah pustaka dari beberapa jurnal. Penelitian ini dilakukan untuk membahas dan menggambarkan perilaku masyarakat yang hidup berdampingan dengan Merapi sebelum dan setelah erupsi, kemudian dikerucutkan pada perbandingan aktivitas dan anggapan sosial yang berkembang sebelum dan setelah erupsi terlebih ketika Mbah Maridjan wafat.
Penelitian memperlihatkan bahwa segi sosial, tradisi, kondisi fisik dan ekonomi serta pariwisata. Dari segi sosial, masyarakat yang awalnya cenderung tertutup terhadap pemberitaan luar dengan hidup berkelompok di sekitar lereng, menunjukkan perubahan setelah erupsi, dimana masyarakat lebih peduli terhadap pemberitaan dunia luar. Tradisi yang berlangsung mulai dari sebelum erupsi, tetap dilakukan oleh masyarakat merapi sampai saat ini. namun ada beberapa tradisi adat yang dihilangkan karena hilangnya sarana akibat erupsi. Pembangunan sarana dan prasarana yang seadanya, saat pra erupsi, mulai sedikit modern pasca erupsi. Hal ini karena banyak prasarana yang dibangun pemerintah. Dari segi ekonomi, dimana masyarakat yang awalanya hanya bercocok tanam, waktu pra erupsi, berubah alih menjadi lebih memajukan pariwisata, tanpa mengesampingkan tugas bercocok tanam nya.
Kata kunci : erupsi merapi 2010, perubahan sosial, ekonomi, tradisi, dan fisik
Tulisan dapat dibaca selengkapnya disini.
Aulia Rahmatika Utari, Farah Eka Putri, Hastin Chandra Diantari, Ridhotul Ghiaz
Hadhary dan Suci Handayani Qolbi, Geofisika 2012